Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun,
berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang
bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga
mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai
seorang anak sebagai penerus keturunannya.
Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun
dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih
berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak
seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi
Hulu Dusun dan istrinya.
Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan
memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena
cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah
satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.
Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah
terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang
kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan
dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi.
Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh
malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala,
dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih.
Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.
Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi
Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa
daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat
itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.
Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri
yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.
“Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda.” kata sang putri, “Meskipun
ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk
pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah.”
Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada
sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari
bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis
seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam.
“Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti
kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar
wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap
sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul
di permukaan sungai.”
Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan
selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya.
Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu
dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang
naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia
menyelam.
Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat,
air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang
ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi
tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik.
Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai
Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada.
Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi
dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di
permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya
berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan
alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat
seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian
meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong
tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air,
nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong
tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang
tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke
tepian batu.
Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga
tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang
berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu
Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat
karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu
dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka
bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan
menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang
menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari
raja-raja Kutai Kartanegara.